Senin, 08 Juli 2013

Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh

Mekanisme utama infeksi HIV adalah melalui perlekatan selubung glikoprotein virus gp 120 pada molekul CD4. Molekul ini merupakan reseptor dengan afinitas paling tinggi terhadap protein selubung virus. Partikel HIV yang berikatan dengan molekul CD4 kemudian masuk kedalam sel hospes melalui fusi antara membran virus dengan membran sel hospes dengan bantuan gp 41yang terdapat pada permukaan membran virus.

Molekul CD4 banyak terdapat pada sel limfosit T helper atau CD4+, namun- sel-sel lain seperti makrofag, monosit, sel dendritik, sel langerhans, sel stem hematopoetik dan sel mikrogial dapat juga terinfeksi HIV melalui ingesti kombinasi virus-antibodi atau melalui molekul CD4 yang diekspresikan oleh sel tersebut. Banyka bukti menyebutkan bahwa molekul CD4 memegang peranan penting pada patogenesis dan efek sitopatik HIV. Efek sitopatik ini bervariasi pada sel pada sel CD4+, namun paling tinggi pada sel dengan densitas molekul CD4 permukaan yang paling tinggi yaitu sel limfosit T CD4+.

Partikel virus yang terinfeksi akan terbentuk pada saat sel limfosit T teraktivasi. Aktivasi sel T CD4+ yang telah terinfeksi HIV akan mengakibatkan aktivasi provirus juga. Karena protein virus dibentuk dalam sel hospes, maka membran plasma sel hospes akan disisipi oleh glikoprotein virus yaitu gp 41 dan gp 120. RNA virus dan protein akan membentuk membran dan menggunakan membran plasma sel hospes yang telah dimodifikasi dengan glikoprotein virus, membentuk selubung virus dalam proses yang dikenal sebagai budding.

Fase perjalanan infeksi HIV dapat dibagi dalam 3 fase, yaitu

1. Infeksi akut
Fase ini terdapat 40-90% kasus yang merupakan keadaan klinis yang bersifat sementara yang berhubungan dengan replikasi virus pada stadium tinggi dan ekspansi virus pada respon imun spesifik. Proses replikasi tersebut menghasilkan virus-virus baru yang jumlahnya jutaan dan menyebabkan terjadinya viremia yang memicu timbulnya sindroma infeksi akut.

Gejala yang muncul antara lain demam, faringitis, artralgia, mialgia, malaise, mual, muntah, anoreksia, penurunan berat badan. HIV juga dapat menyebabkan kelainan sistem saraf meskpun paparan HIV terjadi pada stadium awal. Fase ini terjadi penurunan limfosit T yang cukup dramatis yang kemudian diikuti kenaikan limfosit T, meskipun demikian tidak ada antibodi spesifik HIV yang dapat terdeteksi pada stadium awal infeksi ini.

Seperti yang telah dijelaskan, pada fase ini terjadi interaksi antara gp 120 virus dengan reseptor CD4+ yang terdapat pada sel limfosit T pada awal infeksi, interaksi ini menyebabkan terjadinya ikatan dengan reseptor kemokin yang bertindak sebagai koreseptor spesifik CXCR4 dan CCR5 yang juga terdapat pada membran sel target. Proses internaliasi HIV pada membran sel target juga memerlukan peran gp 41 sebagai proses fusi. Peran gp 41 tersebut menyebabkan seluruh komponen inti HIV dapat masuk dan mengalami proses internalisasi yang ditandai dengan masuknya inti nukleokapsid ke dalam sitoplasma.

2. Infeksi laten
Pembentukan respon imun spesifik HIV dan terperangkapnya virus dalam sel dendritik folikuler di pusat germinativum kelenjar limfa menyebabkan virion dapat dikendalikan, gejala akan hilang mulai memasuki fase laten. Fase ini jarang ditemukan virion di plasma, sebagian besar virus terakumulasi di kelenjar limfa dan terjadi replikasi di kelenjar limfa sehingga di dalam darah jumlahnya menurun. Fase ini berlangsung rata-rata sekitar 8-10 tahun setelah terinfeksi HIV. Tahun ke-8 setelah terinfeksi HIV akan muncul gejala klinis seperti demam, banyak keringat pada malam hari, diare, lesi pada mukosa dan kulit berulang.

Selam periode laten HIV dapat berada dalam bentuk provirus yang berintegrasi dengan genom DNA hospes, tanpa mengadakan transkripsi. Ada beberapa faktor yang dapat mengaktivasi proses transkripsi virus tersebut. Monosit pada individu yang terinfeksi HIV cenderung melepaskan sitokin dalam jumlah besar sehingga dapat menyebabkan meningkatnya transkripsi virus. Infeksi beberapa virus dapat meningkatkan transkripsi provirus DNA pada HIV sehingga berkembang menjadi AIDS yaitu HTLV-1, cytomegalovirus, virus herpes simplex, virus Epstein-Barr, adenovirus, papovirus dan virus hepatitis B.

3. Infeksi Kronik
Selama fase ini terdapat peningkatan jumlah virion secara berlebihan di dalam sirkulasi sistemik dan tidak mampu dibendung oleh respon imun. Terjadi penurunan jumlah limfosit T CD4+ hingga dibawah 300 sel/mm3. Perjalanan penyakit semakin progresif yang mendorong ke arah AIDS.

Meskipun perjalanan penyakit HIV panjang, tetapi penanganan dan pengobatan tidak bisa di tunda.

Semoga bermanfaat, Terima kasih
Wassalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh

sumur gali
Cermin Dunia Kedokteran No 130, 2001

0 komentar :

Posting Komentar